Rabu, 13 Desember 2017

 BAB I
PENDAHULUAN
A.                     Latar Belakang
Kemajuan zaman telah mengantarkan kehidupan masyarakat pada perkembangan dan perubahan, baik perkembangan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi maupun adat-istiadat. Masyarakat dituntut untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut dalam menambah ilmu pengetahuan kehidupan ini. Pendidikan berperan sangat penting, karena kita ketahui bahwa perkembangan
dan perubahan merupakan tantangan bagi generasi yang akan datang ini, terutama
bagi bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasional dan sumber daya manusia
yang berkualitas.
Seperti apa yang disampaikan oleh Abuddin Nata dalam buku Manajemen Pendidikan, bahwa salah satu sebab timbulnya perilaku menyimpang dikalangan remaja ialah longgarnya pegangan terhadap agama sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak.
Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mengatasi krisis yang terjadi terutama krisis moral. Menanamkan nilai-nilai keagamaan merupakan suatu proses generasi muda untuk dapat menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuannya hidupnya secara lebih efektif dan efisien.
Pendidikan Islam adalah proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai-nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.
Jadi pendidikan Islam tidak hanya mentransfer ilmu belaka, namun lebih dalam dari itu adalah transfer  nilai. Penanaman nilai-nilai keagaamaan ini tentu dimulai dari lingkungan keluarga. Dan di lingkungan pendidikan formal juga harus diciptakan suasana keagaamaan agar peserta didik dapat menjalankan ajaran agama dengan baik dan penuh kesadaran, sehingga mampu membentuk kepribadiannya.

B.                     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas didalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.             Penjelasan mengenai pengertian suasana religious (keagamaan) ?
2.             Bagaimana penciptaan suasana religious di sekolah?
3.             Bagaimana penciptaan suasana religious di sekolah?
4.             Apa saja model-model penciptaan suasana religious di sekolah?

C.                     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sekaligus memahami tentang penjelasan materi yang mencakup penciptaan suasana religious di sekolah, yang mana ini harus dilaksanakan agar para peserta didik dapat mengembangkan ilmu keagamaannya masing-masing. Maka dari itu penciptaan suasana religious di sekolah selalu dilakukan dan kembangkan oleh pemerintah guna mencapai generasi muda yang bisa berakhlak mulia.




















BAB II
PEMBAHASAN
PENCIPTAAN SUASANA RELIGIOUS (KEAGAMAAN) DI SEKOLAH
A.                     Pengertian Suasana religious (Keagamaan)
Suasana dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti hawa, udara, keadaan sekitar sesuatu atau di lingkungan sesuatu.[1] Suasana keagamaan adalah suatu keadaan dimana tercermin nilai-nilai kehidupan beragama atau dikenal juga dengan istilah religious. Dalam konteks pendidikan dimadrasah berarti penciptaan suasana atau iklim kehidupan keagamaan yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama, yang diwujudkan dengan sikap hidup serta keterampilan hidup oleh para warga sekolah dalam kehidupan mereka sehari-hari.[2]

B.                     Urgensi Penciptaan Suasana Religious di Sekolah
Berbicara tentang suasana religious merupakan bagian dari kehidupan religious yang tampak. Untuk mendekati pemahaman kita tentang hal tersebut, terlebih dahulu perlu dijelaskan tentang konsep religiousitas.
Keberagamaan atau religiousitas dapat diwujudsyahrilvicryhskan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktifitas beragama tidak hanya terjadi ketika seseorang melakukan prilaku ritual (ibadah) tetapi juga melakukan aktifitas lain yang didorong oleh kekuatan supra natural. Bukan hanya berkaitan dengan aktifitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktifitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keberagamaan seseorang meliputi berbagai macam sisi atau dimensi.
Glock dan Stark (1996) dalam ancok (1995;76) menjelaskan bahwa agama adalah symbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem prilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Menurut Glock dan Stark dalam retson (1988), ada lima macam dimensi, yaitu:
1.             Dimensi keyakinan
Dimensi keyakinan yaitu berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religious berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut.
2.             Dimensi praktek agama
Dimensi praktek agama yang mencakup prilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya, praktek-praktek agama memiliki dua bagian yang penting yaitu: ritual dan ketaatan.
3.             Dimensi pengalaman
Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak dapat jika dikatakan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supernatural.
4.             Dimensi pengetahuan agama
Dimensi pengetahuan agama yang mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak dia memiliki sejumlah pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, kitab suci, dan tradisi-tradisi.
5.             Dimensi konsekuensi
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari kehari. Paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan, antara lain mengenai dasar-dasar tradisi.





C.                     Model-model Penciptaan Suasana Religious di Sekolah
Model adalah suatu yang dianggap benar, tetapi bersifat kondisional. Karena itu, model penciptaan suasana religious sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tempat, dan model itu akan diterapkan bersama penerapan nilai-nilai yang mendasarinya.[3]
Untuk menciptakan seorang murid atau siswa yang memiliki akhlak baik, maka kita tidak hanya mengandalkan kepada pelajaran agama Islam yang diberikan seorang guru di dalam kelasnya saja. Karena kalau hanya mengandalkan mata pelajaran yang hanya diberikan 2 jam saja dalam satu minggu sangat tidak akan menghasilkan hasil yang maksimal. Untuk itu perlu adanya kerja sama yang erat antar sesama guru mata pelajaran untuk saling membahu, tidak hanya sampai sana, kersama masyarakat dan keluarga serta para tokohpun sangat diperlukan guna menciptakan akhlak seorang murid yang baik.
Sebagai seorang pendidik, guru berkewajiban untuk menciptakan suasana religious di lingkungan belajar (sekolah). Penciptaan ini dimaksudkan dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai bersikap (attitudinal values), nilai-nilai penghayatan (experiental values) dan menumbuhkan semangat kesadaran beragama. Karena itu untuk menciptakan suasana tersebut, perlu dikembangkan dengan model-model. Berikut ini model-model pengembangan suasana religious di sekolah;
1.             Model Struktural
Melalui model struktural yakni penciptaan suasana religious dengan melalui pendekatan yang disemangati oleh adanya kedisiplinan peraturan, penanaman kultur atau budaya yang melibatkan dari seluruh jajaran pejabat sekolah. Model seperti ini dalam dunia kekuasaan dikenal dengan sistem ‘top down’, yaitu prakarsa yang mancul dari atas untuk mendisiplinkan bawahannya. Namun sistem tersebut, dapat dikembangkan dengan penuh sikap bijaksana, kearifan, elegan untuk menciptakan kegiatan keagamaan di sekolah.
2.             Model formal (sekolah/madrasah)
Model formal, yakni penciptaan suasana religious yang didsasari atas pemahaman bahwa pendidikan agama adalah upaya manusia untuk mengajarkan masalah-masalah kehidupan akhirat, di samping aktivitas duniawi yang berpijak pada tataran nilai-nilai normatif dan doktrin agama yang telah diyakini kemutlakan kebenarannya. Sehingga semua yang berada di sekolah merasa terpanggil untuk menjalankan aktivitas keagamaan.[4]
Model cara penciptaan suasana religious formal tersebut berimplikasi terhadap pengembangan pendidikan  keagamaan yang lebih berorientasi pada keakhiratan. Sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sain (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama.
3.             Model mekanik
Model mekanik penciptaan suasana religious adalah penciptaan suasana religious yang didasari oleh  pemahaman bahwa kehidupan terdiri dari berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanam dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak sesuai fungsinya. Masing-masing gerak bagaikan sebuah mesin atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan yang lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak dapat berkonsultasi.
Model mekanik tersebut berimplikasi terhadap pengembangan agama yang lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau dimensi efektif dari pada kognitif atau psikomotor. Artinya dimensi kognitif  dan psikomotor diarahkan untuk penggunaan efektif (moral dan spiritual), yang berbeda dengan mata pelajaran lainnya (kegiatan dan kajian-kajian keagamaannya hanya untuk pendalaman agama dan kegiatan spiritual).
4.             Model organik
Penciptaan suasana religious model organik, yaitu penciptaan suasana religious yang disemangati oleh adanya pandangan bahwa pendidikan agama adalah kesatuan atau sistem (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha untuk mengembangkan pandangan atau semangat hidup agamis. Yang diminifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup yang religious.
Model penciptaan suasana religious model organik tersebut berimplikasi terhadap pengembangan pendidikan agama yang dibangun dari fundamental doctrins dan fundamental valves yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As-sunnah shahihah sebagai sumber pokok, kemudian mau dan menerima kontribusi pemikiran dari para ahli serta mempertimbangkan konteks historisnya. Karena itu nilai-nilai ilahi/agama/wahyu didudukan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai relasi horizontal-lateral.[5]













BAB III
PENUTUP
A.                     Kesimpulan
Suasana keagamaan adalah suatu keadaan dimana tercermin nilai-nilai kehidupan beragama atau dikenal juga dengan istilah religious. Dalam konteks pendidikan dimadrasah berarti penciptaan suasana atau iklim kehidupan keagamaan yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama, yang diwujudkan dengan sikap hidup serta keterampilan hidup oleh para warga sekolah dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Untuk menciptakan seorang murid atau siswa yang memiliki akhlak baik, maka kita tidak hanya mengandalkan kepada pelajaran agama Islam yang diberikan seorang guru di dalam kelasnya saja. Karena kalau hanya mengandalkan mata pelajaran yang hanya diberikan 2 jam saja dalam satu minggu sangat tidak akan menghasilkan hasil yang maksimal. Untuk itu perlu adanya kerja sama yang erat antar sesama guru mata pelajaran untuk saling membahu, tidak hanya sampai sana, kersama masyarakat dan keluarga serta para tokohpun sangat diperlukan guna menciptakan akhlak seorang murid yang baik.
Sebagai seorang pendidik, guru berkewajiban untuk menciptakan suasana religious di lingkungan belajar (sekolah). Penciptaan ini dimaksudkan dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai bersikap (attitudinal values), nilai-nilai penghayatan (experiental values) dan menumbuhkan semangat kesadaran beragama. Karena itu untuk menciptakan suasana tersebut, perlu dikembangkan dengan model-model. Berikut ini model-model pengembangan suasana religious di sekolah;
1.             Model Struktural,
2.             Model formal,
3.             Model mekanik, dan
4.             Model organik

B.                     Kritik dan Saran
Penulis sangat menyadari dalam makalah ini mungkin banyak kesalahan dari segi internalnya maupun eksternalnya, penulis sangat berharap agar pembaca bisa memberikan saran ataupun kritik berupa masukan yang positif demi kesempurnaan isi makalah ini.


























DAFTAR PUSTAKA

Muhaiminin. Nuansa Baru Pendidikan Islam, (JAKARTA: PT Raja Grafindo Persada, 2006)

Muhaiminin. Paradigma Pendidikan Islam, (BANDUNG: Rosdakarya, 2002).

Muhaiminin, dkk. Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (BANDUNG: Rosdakarya, 2001).

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (JAKARTA: Balai Pustaka, 1990).



[1]  Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (JAKARTA: Balai Pustaka, 1990), hlm. 861
[2]  Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam, (JAKARTA: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 106
[3]  Muhaiminin . Paradigma Pendidikan Islam, (BANDUNG: Rosdakarya, 2002), hlm.292
[4]  Muhaiminin dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (BANDUNG: Rosdakarya, 2001), hlm. 306
[5]  Muhaiminin . Op.Cit, hlm.293