PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kemajuan zaman telah mengantarkan kehidupan
masyarakat pada perkembangan dan perubahan, baik perkembangan di bidang ilmu
pengetahuan, teknologi maupun adat-istiadat. Masyarakat dituntut untuk
menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut dalam menambah ilmu pengetahuan
kehidupan ini. Pendidikan berperan sangat penting, karena kita ketahui bahwa
perkembangan
dan perubahan merupakan tantangan bagi generasi yang akan datang
ini, terutama
bagi bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasional dan sumber
daya manusia
yang berkualitas.
Seperti apa yang disampaikan oleh Abuddin
Nata dalam buku Manajemen Pendidikan, bahwa salah satu sebab timbulnya
perilaku menyimpang dikalangan remaja ialah longgarnya pegangan terhadap agama
sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat
dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak.
Pendidikan merupakan salah satu cara untuk
mengatasi krisis yang terjadi terutama krisis moral. Menanamkan nilai-nilai
keagamaan merupakan suatu proses generasi muda untuk dapat menjalankan
kehidupan dan memenuhi tujuannya hidupnya secara lebih efektif dan efisien.
Pendidikan Islam adalah proses
transinternalisasi pengetahuan dan nilai-nilai Islam kepada peserta didik
melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan
pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di
dunia dan akhirat.
Jadi pendidikan Islam tidak hanya mentransfer
ilmu belaka, namun lebih dalam dari itu adalah transfer nilai.
Penanaman nilai-nilai keagaamaan ini tentu dimulai dari lingkungan keluarga.
Dan di lingkungan pendidikan formal juga harus diciptakan suasana keagaamaan
agar peserta didik dapat menjalankan ajaran agama dengan baik dan penuh
kesadaran, sehingga mampu membentuk kepribadiannya.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas didalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Penjelasan
mengenai pengertian suasana religious (keagamaan) ?
2.
Bagaimana
penciptaan suasana religious di sekolah?
3.
Bagaimana
penciptaan suasana religious di sekolah?
4.
Apa
saja model-model penciptaan suasana religious di sekolah?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
sekaligus memahami tentang penjelasan materi yang mencakup penciptaan suasana
religious di sekolah, yang mana ini harus dilaksanakan agar para peserta didik
dapat mengembangkan ilmu keagamaannya masing-masing. Maka dari itu penciptaan
suasana religious di sekolah selalu dilakukan dan kembangkan oleh pemerintah
guna mencapai generasi muda yang bisa berakhlak mulia.
BAB
II
PEMBAHASAN
PENCIPTAAN
SUASANA RELIGIOUS (KEAGAMAAN) DI SEKOLAH
A.
Pengertian Suasana religious (Keagamaan)
Suasana dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti hawa, udara,
keadaan sekitar sesuatu atau di lingkungan sesuatu.[1]
Suasana keagamaan adalah suatu keadaan dimana tercermin nilai-nilai kehidupan
beragama atau dikenal juga dengan istilah religious. Dalam konteks pendidikan
dimadrasah berarti penciptaan suasana atau iklim kehidupan keagamaan yang
dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan atau
dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama, yang diwujudkan dengan sikap hidup
serta keterampilan hidup oleh para warga sekolah dalam kehidupan mereka
sehari-hari.[2]
B.
Urgensi Penciptaan Suasana Religious di Sekolah
Berbicara tentang suasana religious merupakan bagian dari kehidupan
religious yang tampak. Untuk mendekati pemahaman kita tentang hal tersebut,
terlebih dahulu perlu dijelaskan tentang konsep religiousitas.
Keberagamaan atau religiousitas dapat diwujudsyahrilvicryhskan dalam berbagai
sisi kehidupan manusia. Aktifitas beragama tidak hanya terjadi ketika seseorang
melakukan prilaku ritual (ibadah) tetapi juga melakukan aktifitas lain yang
didorong oleh kekuatan supra natural. Bukan hanya berkaitan dengan aktifitas
yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktifitas yang tidak
tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keberagamaan seseorang
meliputi berbagai macam sisi atau dimensi.
Glock dan Stark (1996) dalam ancok (1995;76) menjelaskan bahwa
agama adalah symbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem prilaku yang
terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati
sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Menurut Glock dan Stark dalam
retson (1988), ada lima macam dimensi, yaitu:
1.
Dimensi keyakinan
Dimensi
keyakinan yaitu berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religious berpegang
teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut.
2.
Dimensi praktek agama
Dimensi praktek
agama yang mencakup prilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang
untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya, praktek-praktek agama
memiliki dua bagian yang penting yaitu: ritual dan ketaatan.
3.
Dimensi pengalaman
Dimensi ini
berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung
pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak dapat jika dikatakan mencapai
pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir bahwa ia akan
mencapai suatu kontak dengan kekuatan supernatural.
4.
Dimensi pengetahuan agama
Dimensi
pengetahuan agama yang mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama
paling tidak dia memiliki sejumlah pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan,
kitab suci, dan tradisi-tradisi.
5.
Dimensi konsekuensi
Dimensi ini
mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik,
pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari kehari. Paling tidak memiliki
sejumlah pengetahuan, antara lain mengenai dasar-dasar tradisi.
C.
Model-model Penciptaan Suasana Religious di Sekolah
Model adalah suatu yang dianggap benar, tetapi bersifat
kondisional. Karena itu, model penciptaan suasana religious sangat dipengaruhi
oleh situasi dan kondisi tempat, dan model itu akan diterapkan bersama
penerapan nilai-nilai yang mendasarinya.[3]
Untuk menciptakan seorang murid atau siswa yang memiliki akhlak
baik, maka kita tidak hanya mengandalkan kepada pelajaran agama Islam yang
diberikan seorang guru di dalam kelasnya saja. Karena kalau hanya mengandalkan
mata pelajaran yang hanya diberikan 2 jam saja dalam satu minggu sangat tidak
akan menghasilkan hasil yang maksimal. Untuk itu perlu adanya kerja sama yang
erat antar sesama guru mata pelajaran untuk saling membahu, tidak hanya sampai
sana, kersama masyarakat dan keluarga serta para tokohpun sangat diperlukan
guna menciptakan akhlak seorang murid yang baik.
Sebagai seorang pendidik, guru berkewajiban untuk menciptakan
suasana religious di lingkungan belajar (sekolah). Penciptaan ini dimaksudkan
dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai bersikap (attitudinal values),
nilai-nilai penghayatan (experiental values) dan menumbuhkan semangat kesadaran
beragama. Karena itu untuk menciptakan suasana tersebut, perlu dikembangkan
dengan model-model. Berikut ini model-model pengembangan suasana religious di
sekolah;
1.
Model Struktural
Melalui model
struktural yakni penciptaan suasana religious dengan melalui pendekatan yang
disemangati oleh adanya kedisiplinan peraturan, penanaman kultur atau budaya
yang melibatkan dari seluruh jajaran pejabat sekolah. Model seperti ini dalam
dunia kekuasaan dikenal dengan sistem ‘top down’, yaitu prakarsa yang mancul
dari atas untuk mendisiplinkan bawahannya. Namun sistem tersebut, dapat
dikembangkan dengan penuh sikap bijaksana, kearifan, elegan untuk menciptakan
kegiatan keagamaan di sekolah.
2.
Model formal (sekolah/madrasah)
Model formal,
yakni penciptaan suasana religious yang didsasari atas pemahaman bahwa
pendidikan agama adalah upaya manusia untuk mengajarkan masalah-masalah
kehidupan akhirat, di samping aktivitas duniawi yang berpijak pada tataran
nilai-nilai normatif dan doktrin agama yang telah diyakini kemutlakan
kebenarannya. Sehingga semua yang berada di sekolah merasa terpanggil untuk
menjalankan aktivitas keagamaan.[4]
Model cara
penciptaan suasana religious formal tersebut berimplikasi terhadap pengembangan
pendidikan keagamaan yang lebih
berorientasi pada keakhiratan. Sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting,
serta menekankan pada pendalaman ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan jalan
pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sain (ilmu pengetahuan) dianggap
terpisah dari agama.
3.
Model mekanik
Model mekanik
penciptaan suasana religious adalah penciptaan suasana religious yang didasari
oleh pemahaman bahwa kehidupan terdiri
dari berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanam dan pengembangan
seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak sesuai fungsinya.
Masing-masing gerak bagaikan sebuah mesin atas beberapa komponen atau
elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan
antara satu dengan yang lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak dapat
berkonsultasi.
Model mekanik
tersebut berimplikasi terhadap pengembangan agama yang lebih menonjolkan fungsi
moral dan spiritual atau dimensi efektif dari pada kognitif atau psikomotor.
Artinya dimensi kognitif dan psikomotor
diarahkan untuk penggunaan efektif (moral dan spiritual), yang berbeda dengan
mata pelajaran lainnya (kegiatan dan kajian-kajian keagamaannya hanya untuk
pendalaman agama dan kegiatan spiritual).
4.
Model organik
Penciptaan
suasana religious model organik, yaitu penciptaan suasana religious yang
disemangati oleh adanya pandangan bahwa pendidikan agama adalah kesatuan atau
sistem (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha untuk
mengembangkan pandangan atau semangat hidup agamis. Yang diminifestasikan dalam
sikap hidup dan keterampilan hidup yang religious.
Model
penciptaan suasana religious model organik tersebut berimplikasi terhadap
pengembangan pendidikan agama yang dibangun dari fundamental doctrins dan
fundamental valves yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As-sunnah shahihah
sebagai sumber pokok, kemudian mau dan menerima kontribusi pemikiran dari para
ahli serta mempertimbangkan konteks historisnya. Karena itu nilai-nilai
ilahi/agama/wahyu didudukan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara
aspek-aspek kehidupan lainnya didudukan sebagai nilai-nilai insani yang
mempunyai relasi horizontal-lateral.[5]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Suasana keagamaan adalah suatu keadaan dimana tercermin nilai-nilai
kehidupan beragama atau dikenal juga dengan istilah religious. Dalam konteks
pendidikan dimadrasah berarti penciptaan suasana atau iklim kehidupan keagamaan
yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan atau
dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama, yang diwujudkan dengan sikap hidup
serta keterampilan hidup oleh para warga sekolah dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
Untuk menciptakan seorang murid atau siswa yang memiliki akhlak
baik, maka kita tidak hanya mengandalkan kepada pelajaran agama Islam yang
diberikan seorang guru di dalam kelasnya saja. Karena kalau hanya mengandalkan
mata pelajaran yang hanya diberikan 2 jam saja dalam satu minggu sangat tidak
akan menghasilkan hasil yang maksimal. Untuk itu perlu adanya kerja sama yang
erat antar sesama guru mata pelajaran untuk saling membahu, tidak hanya sampai
sana, kersama masyarakat dan keluarga serta para tokohpun sangat diperlukan
guna menciptakan akhlak seorang murid yang baik.
Sebagai seorang pendidik, guru berkewajiban untuk menciptakan suasana
religious di lingkungan belajar (sekolah). Penciptaan ini dimaksudkan dalam
rangka mengimplementasikan nilai-nilai bersikap (attitudinal values),
nilai-nilai penghayatan (experiental values) dan menumbuhkan semangat kesadaran
beragama. Karena itu untuk menciptakan suasana tersebut, perlu dikembangkan
dengan model-model. Berikut ini model-model pengembangan suasana religious di
sekolah;
1.
Model
Struktural,
2.
Model
formal,
3.
Model
mekanik, dan
4.
Model
organik
B.
Kritik dan Saran
Penulis sangat menyadari dalam makalah ini mungkin banyak kesalahan
dari segi internalnya maupun eksternalnya, penulis sangat berharap agar pembaca
bisa memberikan saran ataupun kritik berupa masukan yang positif demi
kesempurnaan isi makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Muhaiminin.
Nuansa Baru Pendidikan Islam, (JAKARTA: PT Raja Grafindo Persada, 2006)
Muhaiminin.
Paradigma Pendidikan Islam, (BANDUNG: Rosdakarya, 2002).
Muhaiminin,
dkk. Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam
di Sekolah, (BANDUNG: Rosdakarya, 2001).
Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (JAKARTA: Balai Pustaka, 1990).
[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (JAKARTA: Balai
Pustaka, 1990), hlm. 861
[2] Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam, (JAKARTA:
PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 106
[3] Muhaiminin . Paradigma Pendidikan Islam, (BANDUNG:
Rosdakarya, 2002), hlm.292
[4] Muhaiminin dkk, Paradigma Pendidikan Islam,
Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (BANDUNG:
Rosdakarya, 2001), hlm. 306
[5] Muhaiminin . Op.Cit, hlm.293