Rabu, 13 Desember 2017

 BAB I
PENDAHULUAN
A.                     Latar Belakang
Kemajuan zaman telah mengantarkan kehidupan masyarakat pada perkembangan dan perubahan, baik perkembangan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi maupun adat-istiadat. Masyarakat dituntut untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut dalam menambah ilmu pengetahuan kehidupan ini. Pendidikan berperan sangat penting, karena kita ketahui bahwa perkembangan
dan perubahan merupakan tantangan bagi generasi yang akan datang ini, terutama
bagi bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasional dan sumber daya manusia
yang berkualitas.
Seperti apa yang disampaikan oleh Abuddin Nata dalam buku Manajemen Pendidikan, bahwa salah satu sebab timbulnya perilaku menyimpang dikalangan remaja ialah longgarnya pegangan terhadap agama sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak.
Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mengatasi krisis yang terjadi terutama krisis moral. Menanamkan nilai-nilai keagamaan merupakan suatu proses generasi muda untuk dapat menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuannya hidupnya secara lebih efektif dan efisien.
Pendidikan Islam adalah proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai-nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.
Jadi pendidikan Islam tidak hanya mentransfer ilmu belaka, namun lebih dalam dari itu adalah transfer  nilai. Penanaman nilai-nilai keagaamaan ini tentu dimulai dari lingkungan keluarga. Dan di lingkungan pendidikan formal juga harus diciptakan suasana keagaamaan agar peserta didik dapat menjalankan ajaran agama dengan baik dan penuh kesadaran, sehingga mampu membentuk kepribadiannya.

B.                     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas didalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.             Penjelasan mengenai pengertian suasana religious (keagamaan) ?
2.             Bagaimana penciptaan suasana religious di sekolah?
3.             Bagaimana penciptaan suasana religious di sekolah?
4.             Apa saja model-model penciptaan suasana religious di sekolah?

C.                     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sekaligus memahami tentang penjelasan materi yang mencakup penciptaan suasana religious di sekolah, yang mana ini harus dilaksanakan agar para peserta didik dapat mengembangkan ilmu keagamaannya masing-masing. Maka dari itu penciptaan suasana religious di sekolah selalu dilakukan dan kembangkan oleh pemerintah guna mencapai generasi muda yang bisa berakhlak mulia.




















BAB II
PEMBAHASAN
PENCIPTAAN SUASANA RELIGIOUS (KEAGAMAAN) DI SEKOLAH
A.                     Pengertian Suasana religious (Keagamaan)
Suasana dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti hawa, udara, keadaan sekitar sesuatu atau di lingkungan sesuatu.[1] Suasana keagamaan adalah suatu keadaan dimana tercermin nilai-nilai kehidupan beragama atau dikenal juga dengan istilah religious. Dalam konteks pendidikan dimadrasah berarti penciptaan suasana atau iklim kehidupan keagamaan yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama, yang diwujudkan dengan sikap hidup serta keterampilan hidup oleh para warga sekolah dalam kehidupan mereka sehari-hari.[2]

B.                     Urgensi Penciptaan Suasana Religious di Sekolah
Berbicara tentang suasana religious merupakan bagian dari kehidupan religious yang tampak. Untuk mendekati pemahaman kita tentang hal tersebut, terlebih dahulu perlu dijelaskan tentang konsep religiousitas.
Keberagamaan atau religiousitas dapat diwujudsyahrilvicryhskan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktifitas beragama tidak hanya terjadi ketika seseorang melakukan prilaku ritual (ibadah) tetapi juga melakukan aktifitas lain yang didorong oleh kekuatan supra natural. Bukan hanya berkaitan dengan aktifitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktifitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keberagamaan seseorang meliputi berbagai macam sisi atau dimensi.
Glock dan Stark (1996) dalam ancok (1995;76) menjelaskan bahwa agama adalah symbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem prilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Menurut Glock dan Stark dalam retson (1988), ada lima macam dimensi, yaitu:
1.             Dimensi keyakinan
Dimensi keyakinan yaitu berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religious berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut.
2.             Dimensi praktek agama
Dimensi praktek agama yang mencakup prilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya, praktek-praktek agama memiliki dua bagian yang penting yaitu: ritual dan ketaatan.
3.             Dimensi pengalaman
Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak dapat jika dikatakan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supernatural.
4.             Dimensi pengetahuan agama
Dimensi pengetahuan agama yang mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak dia memiliki sejumlah pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, kitab suci, dan tradisi-tradisi.
5.             Dimensi konsekuensi
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari kehari. Paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan, antara lain mengenai dasar-dasar tradisi.





C.                     Model-model Penciptaan Suasana Religious di Sekolah
Model adalah suatu yang dianggap benar, tetapi bersifat kondisional. Karena itu, model penciptaan suasana religious sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tempat, dan model itu akan diterapkan bersama penerapan nilai-nilai yang mendasarinya.[3]
Untuk menciptakan seorang murid atau siswa yang memiliki akhlak baik, maka kita tidak hanya mengandalkan kepada pelajaran agama Islam yang diberikan seorang guru di dalam kelasnya saja. Karena kalau hanya mengandalkan mata pelajaran yang hanya diberikan 2 jam saja dalam satu minggu sangat tidak akan menghasilkan hasil yang maksimal. Untuk itu perlu adanya kerja sama yang erat antar sesama guru mata pelajaran untuk saling membahu, tidak hanya sampai sana, kersama masyarakat dan keluarga serta para tokohpun sangat diperlukan guna menciptakan akhlak seorang murid yang baik.
Sebagai seorang pendidik, guru berkewajiban untuk menciptakan suasana religious di lingkungan belajar (sekolah). Penciptaan ini dimaksudkan dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai bersikap (attitudinal values), nilai-nilai penghayatan (experiental values) dan menumbuhkan semangat kesadaran beragama. Karena itu untuk menciptakan suasana tersebut, perlu dikembangkan dengan model-model. Berikut ini model-model pengembangan suasana religious di sekolah;
1.             Model Struktural
Melalui model struktural yakni penciptaan suasana religious dengan melalui pendekatan yang disemangati oleh adanya kedisiplinan peraturan, penanaman kultur atau budaya yang melibatkan dari seluruh jajaran pejabat sekolah. Model seperti ini dalam dunia kekuasaan dikenal dengan sistem ‘top down’, yaitu prakarsa yang mancul dari atas untuk mendisiplinkan bawahannya. Namun sistem tersebut, dapat dikembangkan dengan penuh sikap bijaksana, kearifan, elegan untuk menciptakan kegiatan keagamaan di sekolah.
2.             Model formal (sekolah/madrasah)
Model formal, yakni penciptaan suasana religious yang didsasari atas pemahaman bahwa pendidikan agama adalah upaya manusia untuk mengajarkan masalah-masalah kehidupan akhirat, di samping aktivitas duniawi yang berpijak pada tataran nilai-nilai normatif dan doktrin agama yang telah diyakini kemutlakan kebenarannya. Sehingga semua yang berada di sekolah merasa terpanggil untuk menjalankan aktivitas keagamaan.[4]
Model cara penciptaan suasana religious formal tersebut berimplikasi terhadap pengembangan pendidikan  keagamaan yang lebih berorientasi pada keakhiratan. Sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sain (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama.
3.             Model mekanik
Model mekanik penciptaan suasana religious adalah penciptaan suasana religious yang didasari oleh  pemahaman bahwa kehidupan terdiri dari berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanam dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak sesuai fungsinya. Masing-masing gerak bagaikan sebuah mesin atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan yang lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak dapat berkonsultasi.
Model mekanik tersebut berimplikasi terhadap pengembangan agama yang lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau dimensi efektif dari pada kognitif atau psikomotor. Artinya dimensi kognitif  dan psikomotor diarahkan untuk penggunaan efektif (moral dan spiritual), yang berbeda dengan mata pelajaran lainnya (kegiatan dan kajian-kajian keagamaannya hanya untuk pendalaman agama dan kegiatan spiritual).
4.             Model organik
Penciptaan suasana religious model organik, yaitu penciptaan suasana religious yang disemangati oleh adanya pandangan bahwa pendidikan agama adalah kesatuan atau sistem (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha untuk mengembangkan pandangan atau semangat hidup agamis. Yang diminifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup yang religious.
Model penciptaan suasana religious model organik tersebut berimplikasi terhadap pengembangan pendidikan agama yang dibangun dari fundamental doctrins dan fundamental valves yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As-sunnah shahihah sebagai sumber pokok, kemudian mau dan menerima kontribusi pemikiran dari para ahli serta mempertimbangkan konteks historisnya. Karena itu nilai-nilai ilahi/agama/wahyu didudukan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai relasi horizontal-lateral.[5]













BAB III
PENUTUP
A.                     Kesimpulan
Suasana keagamaan adalah suatu keadaan dimana tercermin nilai-nilai kehidupan beragama atau dikenal juga dengan istilah religious. Dalam konteks pendidikan dimadrasah berarti penciptaan suasana atau iklim kehidupan keagamaan yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama, yang diwujudkan dengan sikap hidup serta keterampilan hidup oleh para warga sekolah dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Untuk menciptakan seorang murid atau siswa yang memiliki akhlak baik, maka kita tidak hanya mengandalkan kepada pelajaran agama Islam yang diberikan seorang guru di dalam kelasnya saja. Karena kalau hanya mengandalkan mata pelajaran yang hanya diberikan 2 jam saja dalam satu minggu sangat tidak akan menghasilkan hasil yang maksimal. Untuk itu perlu adanya kerja sama yang erat antar sesama guru mata pelajaran untuk saling membahu, tidak hanya sampai sana, kersama masyarakat dan keluarga serta para tokohpun sangat diperlukan guna menciptakan akhlak seorang murid yang baik.
Sebagai seorang pendidik, guru berkewajiban untuk menciptakan suasana religious di lingkungan belajar (sekolah). Penciptaan ini dimaksudkan dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai bersikap (attitudinal values), nilai-nilai penghayatan (experiental values) dan menumbuhkan semangat kesadaran beragama. Karena itu untuk menciptakan suasana tersebut, perlu dikembangkan dengan model-model. Berikut ini model-model pengembangan suasana religious di sekolah;
1.             Model Struktural,
2.             Model formal,
3.             Model mekanik, dan
4.             Model organik

B.                     Kritik dan Saran
Penulis sangat menyadari dalam makalah ini mungkin banyak kesalahan dari segi internalnya maupun eksternalnya, penulis sangat berharap agar pembaca bisa memberikan saran ataupun kritik berupa masukan yang positif demi kesempurnaan isi makalah ini.


























DAFTAR PUSTAKA

Muhaiminin. Nuansa Baru Pendidikan Islam, (JAKARTA: PT Raja Grafindo Persada, 2006)

Muhaiminin. Paradigma Pendidikan Islam, (BANDUNG: Rosdakarya, 2002).

Muhaiminin, dkk. Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (BANDUNG: Rosdakarya, 2001).

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (JAKARTA: Balai Pustaka, 1990).



[1]  Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (JAKARTA: Balai Pustaka, 1990), hlm. 861
[2]  Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam, (JAKARTA: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 106
[3]  Muhaiminin . Paradigma Pendidikan Islam, (BANDUNG: Rosdakarya, 2002), hlm.292
[4]  Muhaiminin dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (BANDUNG: Rosdakarya, 2001), hlm. 306
[5]  Muhaiminin . Op.Cit, hlm.293

Senin, 17 Oktober 2016

Makalah Pengembangan SKKD di Sekolah

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ 
DAFTAR ISI............................................................................................................ 
BAB I ........ PENDAHULUAN.............................................................................. 
A.                     Latar belakang........................................................................ 
B.                     Rumusan Masalah.................................................................. 
C.                     Tujuan Penulisan.................................................................... 
BAB II ....... PEMBAHASAN................................................................................. 
A.                     Pengertian SKKD Serta Prosedur Pengembangan SKKD di Sekolah 
B.                     Sekolah Dalam Pengembangan Kurikulum (SKKD)............. 
1.                  Perencanaan................................................................ 
2.                  Pelaksanaan................................................................ 
3.                  Penilaian..................................................................... 
4.                  Revisi ......................................................................... 
C.                     Pengembangan SKKD........................................................... 

BAB III ..... PENUTUP.......................................................................................... 
A.                     Kesimpulan............................................................................. 
B.                     Saran dan Keritik................................................................... 

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 


BAB I
PENDAHULUAN
A.                     Latar Belakang
Pengembangan kurikulum (SKKD) merupakan suatu hal yang dapat terjadi kapan saja sesuai dengan kebutuhan. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa merupakan hal-hal yang harus segera ditanggapi dan dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum pada setiap jenjang pendidikan. Munculnya peraturan perundang-undangan yang baru telah membawa implikasi terhadap paradigma baru dalam proses pengembangan kurikulum. Kondisi masa sekarang dan kecenderungan yang akan terjadi pada masa yang akan datang memerlukan persiapan dari generasi muda dan peserta didik yang memiliki kompetensi multidimensional. Mengacu pada hal-hal tersebut, pengembangan kurikulum harus mampu mengantisipasi segala persoalan yang dihadapi masa sekarang dan masa yang akan datang.
Pengembangan kurikulum tidak hanya merupakan berbagai abstraksi yang sering kali mendominasi penulisan kurikulum, akan tetapi mempersiapkan berbagai contoh dan alternatif  untuk tindakan yang merupakan inspirasi dari berbagai ide dan penyesuaian-penyesuaian lain yang dianggap penting.
Kurikulum sebagai program pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis, mengembang peranan yang sangat penting bagi pendidikan siswa. Kalau kita analisis sifat dari masyarakat dan kebudayaan, diamana sekolah sebagai institusi sosial melaksanakan operasinya, maka kita akan menentukan paling tidak 3 jenis peranan kurikulum yang di nilai sangat penting, yakni: (1). Peranan konservatif, (2). Peranan kritis dan evaluative, dan (3). Peranan kreatif. Ketiga peranan ini sama pentingnya dan antara ketiganya perlu dilaksanakan secara keseimbangan.



B.                     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas didalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1.             Penjelasan mengenai pengertian standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD)?
2.             Bagaimana peran dan tanggung jawab sekolah dalam pengembangan SKKD?
3.             Bagaimana prosedur pengembangan SKKD di sekolah?
4.             Apa yang dilakukan sekolah di dalam pengembangan SKKD?

C.                     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sekaligus memahami tentang analisis pengembangan SKKD di sekolah serta prosedur pengembangannya terhadap sekolah-sekolah yang akan menjabarkan kurikulum SKKD dari dewan pendidikan nasional terhadap setiap mata pelajaran.















BAB II
PEMBAHASAN
ANALISIS PENGEMBANGAN  SKKD ( STANDAR KOMPETENSI-KOMPETENSI DASAR ) DI SEKOLAH

A.                     Pengertian SKKD Serta Prosedur Pengembangan SKKD di Sekolah
Standar Kompetensi mata pelajaran adalah deskripsi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai setelah siswa mempelajari mata pelajaran tertentu pada jenjang pendidikan tertentu pula.[1] Menurut Abdul Majid standar kompetensi merupakan kerangka yang menjelaskan dasar pengembangan program pembelajaran yang terstruktur.[2] Pada setiap mata pelajaran, standar kompetensi sudah ditentukan oleh para pengembang kurikulum, yang dapat kita lihat dari standar isi. Jika sekolah memandang perlu mengembangkan mata pelajaran tertentu misalnya pengembangan kurikulum muatan lokal, maka perlu dirumuskan standar kompetensi sesuai dengan nama mata pelajaran dalam muatan lokal tersebut. sedangkan kompetensi dasar adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap minimal yang harus dicapai oleh siswa untuk menunjukkan bahwa sikap telah menguasai standar kompetensi yang telah ditetapkan. Oleh karena itulah maka kompetensi dasar merupakan penjabaran dari standar kompetensi.[3]
Perubahan kurikulum merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan relevensi pendidikan agar dapat mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi seperti yang digariskan dalam haluan Negara. Dengan demikian, perubahan kurikulum diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan dewasa ini, terutama dalam memasuki era globalisasi yang penuh dengan berbagai macam tantangan. Lebih dari itu, perubahan dan penyempurnaan kurikulum dapat diharapkan mampu membawa bangsa dan Negara keluar dari multidimensional, terutama krisis mental dan moral. Hal ini dimungkinkan, karena salah satu kelebihan kurikulum yang disempurnakan adalah memberikan kesempatan yang lebih luas terhadap sekolah dan daerah dalam pengembangan SKKD. Sekolah dan daerah mempunyai kemampuan mandiri yang dapat menyusun kurikulum dan mengembangan SKKD yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya.
Kriteria sekolah dan daerah yang akan mengembangkan kurikulum (SKKD) sendiri dapat dikaji pada tabel “pemetaan kelayakan sekolah untuk mengembangkan SKKD sendiri”.

PEMETAAN KELAYAKAN SEKOLAH
UNTUK MENGMBANGKAN SKKD SENDIRI

KRITERIA
KETERSEDIAN
KET.
ADA
TIDAK ADA

1.      Kesanggupan sekolah, komite sekolah dan dewan pendidikan.
2.      Tenaga pengembang SKKD yang potensial, dan profesional.
3.      Kemampuan menggali dana yang memadai.
4.      Kemampuan untuk meningkatkan kapasitas.
5.      Kepemimpinan yang demokratis dan professional.
6.      Kemampuan menjalin hubungan dengan masyarakat dan dunia kerja.
7.      Guru yang berkualitas, kreatif, dan profesional.
8.      Prospek kemajuan sekolah di masa yang akan datang.





Format tersebut dimodifikasi dari model yang dikembangkan oleh Depdiknas (Dewan Pendidikan Nasional), dengan menambahkan beberapa kriteria yang dipandang penting. Meskipun demikian, satuan pendidikan dan sekolah dapat mengembangkan dan menambahkan lagi sejumlah kriteria sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing; serta menetapkan standar minimal yang harus dipenuhi oleh sekolah (misalnya 80% dari kriteria yang ditetapkan harus dipenuhi oleh sekolah).
Pengembangan kurikulum melibatkan berbagai pihak, seperti Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Pusat Kurikulum (Puskur), dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kota dan kabupaten, serta sekolah yang akan mengimplementasikan kurikulum, sesuai dengan  kapasitas dan  proporsinya masing-masing.[4]

B.                     Sekolah Dalam Pengembangan Kurikulum (SKKD)
Peran dan tanggung jawab sekolah dalam pengembangan kurikulum adalah sebagai berikut:
a.              Berkolaborasi dengan sekolah lain untuk membentuk tim pengembang SKKD tingkat kecamatan dan mengembangkan SKKD sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Ini dapat dilakukan dalam kelompok kerja guru (KKG), atau musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) kecamatan.
b.             Membentuk tim pengembang SKKD tingkat sekolah bagi yang mampu melakukannya.
c.              Mengembangkan SKKD sendiri bagi yang mampu dan memenuhi kriteria untuk melakukannya.
d.             Mengidentifikasi kompetensi sesuai dengan perkembangan peserta didik dan kebutuhan daerah yang perlu dikembangkan ke dalam kurikulum.
e.              Memohon bantuan dinas kabupaten dan kota dalam proses penyusunan kurikulum.
f.              Menguji kelayakan kurikulum yang diimplementasikan di sekolahnya, melalui analisis kualitas isi, analisis kompetensi dalam kaitannya dengan peningkatan prestasi belajar peserta didik.
g.             Menerapkan kurikulum (melaksanakan pembelajaran) sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah, baik buatan sendiri maupun yang disusun oleh sekolah lain.
h.             Memperbaiki, dan meningkatkan kualitas kurikulum dan kualitas pembelajaran secara terus menerus dan berkeseimbangan.

Untuk memberi kemudahan kepada guru dan kepala sekolah dalam melakukan pengembangan SKKD di sekolah, perlu dipahami prosedurnya, baik yang mencakup perencanaan, evaluasi maupun revisi.

1.             Perencanaan
Dalam perencanaan ini tim pengembang harus mengumpulkan informasi dan referensi, serta mengidentifikasi sumber belajar termasuk narasumber yang diperlukan dalam pengembangan SKKD. Pengumpulan informasi dan referensi dapat dilakukan dengan memanfaatkan perangkat teknologi dan informasi, seperti komputer dan internet.[5]

2.             Pelaksanaan
Dalam pelaksanaan kurikulum dibagi menjadi dua tingkatan yaitu pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah dan tingkat kelas. Dalam tingkat sekolah yang berperan adalah kepala sekolah dan pada tingkatan kelas yang berperan adalah guru. Walaupun dibedakan antara tugas skepala sekolah dan tugas guru dalam pelaksanaan kurikulum serta diadakan perbedaan tingkat dalam pelaksanaan administrasi, yaitu tingkat kelas dan tingkat sekolah, namun kedua tingkat dalam pelaksaan administrasi dalam kurikulum tersebut senantiasa bergandengan dan bersama-sama bertanggungjawab melaksanakan proses administrasi kurikulum.[6]

3.             Penilaian
Penilaian kurikulum harus dilakukan secara berkala dan berkesinambungan, dengan menggunakan model-model penilaian.

4.             Revisi
Draft kurikulum yang telah dikembangankan perlu diuji kelayakannya melalui analisis kualitas kurikulum, penilaian ahli, dan uji lapangan. Berdasarkan hasil uji kelayakan kemudian dilakukan revisi. Revisi ini pada hakikatnya perlu dilakukan secara continue dan berkesinambungan, sejak awal penyusunan draft sampai kurikulum tersebut dilaksanakan dalam situasi belajar yang sebenarnya. Revisi kurikulum harus dilakukan setiap saat, sebagai aktualisasi dari peningkatan kualitas yang berkelanjutan (continuous quality improvement).

C.                     Pengembangan SKKD
Meskipun guru diberi kebebasan untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum dan berbagai perangkatnya, namun Depdiknas telah menyiapkan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) untuk berbagai mata pelajaran, sehingga tugas guru adalah menjabarkan, menganalisis, mengembangkan indikator, dan menyesuaikan SK dan KD tersebut dengan situasi dan kondisi sekolah.[7]





BAB III
PENUTUP
A.                     Kesimpulan
Menurut Abdul Majid standar kompetensi merupakan kerangka yang menjelaskan dasar pengembangan program pembelajaran yang terstruktur sedangkan kompetensi dasar adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap minimal yang harus dicapai oleh siswa untuk menunjukkan bahwa sikap telah menguasai standar kompetensi yang telah ditetapkan.
Kriteria sekolah dan daerah yang akan mengembangkan kurikulum (SKKD) sendiri sebagai berikut; (1).  Kesanggupan sekolah, komite sekolah dan dewan pendidikan. (2). Tenaga pengembang SKKD yang potensial, dan profesional. (3). Kemampuan menggali dana yang memadai. (4). Kemampuan untuk meningkatkan kapasitas. (5). Kepemimpinan yang demokratis dan professional. (6). Kemampuan menjalin hubungan dengan masyarakat dan dunia kerja. (7). Guru yang berkualitas, kreatif, dan profesional. Dan, (8). Prospek kemajuan sekolah di masa yang akan datang.
Format tersebut dimodifikasi dari model yang dikembangkan oleh Depdiknas (Dewan Pendidikan Nasional), dengan menambahkan beberapa kriteria yang dipandang penting. Meskipun demikian, satuan pendidikan dan sekolah dapat mengembangkan dan menambahkan lagi sejumlah kriteria sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing; serta menetapkan standar minimal yang harus dipenuhi oleh sekolah (misalnya 80% dari kriteria yang ditetapkan harus dipenuhi oleh sekolah).
Pengembangan kurikulum melibatkan berbagai pihak, seperti Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Pusat Kurikulum (Puskur), dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kota dan kabupaten, serta sekolah yang akan mengimplementasikan kurikulum, sesuai dengan  kapasitas dan  proporsinya masing-masing.


B.                     Saran dan Kritik
Penulis sangat menyadari dalam makalah ini mungkin banyak kesalahan dari segi internalnya maupun eksternalnya, penulis sangat berharap agar pembaca bisa memberikan saran ataupun kritik berupa masukan yang positif demi kesempurnaan isi makalah ini.
















DAFTAR PUSTAKA
E. Mulyasa. Kurikulum Yang Disempurnakan, (BANDUNG: PT Remaja Rosdakarya, 2006).

Oemar. Hamalik. Menejemen Pengembangan Kurikulum, (BANDUNG: PT Remaja Rosdarya, 2006).

Majid. Abdul. Perencanaan Pembelajaran, (BANDUNG: PT Remaja Rosdakarya, 2012).

Sanjaya. Wina. Kurikulum Dan Pembelajaran, (JAKARTA: Kencana Pranada Group, 2008).


[1]  Wina Sanjaya. Kurikulum dan Pembelajaran, (JAKARTA: Kencana Prenada Group, 2008), Hlm. 170
[2]  Abdul Majid. Perencaan Pembelajaran, (BANDUNG: PT Remaja Rosdakarya, 2012) hlm. 42
[3]  Wina Sanjaya. Op.Cit, hlm. 171
[4]  E. Mulyasa. Kurikulum Yang Disempurnakan, (BANDUNG: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 126-128
[5]  E. Mulyasa. Ibid, hlm. 131-132
[6]  Oemar Hamalik. Menejemen Pengembangan Kurikulum, (BANDUNG: PT Remaja Rosdarya, 2006), hlm. 173
[7]  E. Mulyasa. Kurikulum Yang Disempurnakan, hlm. 133- 134